Gallery Photo: Camping 100 Tenda, Rekreasi Berkelas Tanoh Gayo

Wisata Aceh - Biasanya kalau ada event pariwisata yang dibuat oleh Pemkab Aceh Tengah, saya selalu menyikapi dengan dengan geram. Karena biasanya yang dilakukan itu hanyalah aktivitas pemborosan yang tidak jelas tujuan dan sasarannya.

Tapi beberapa hari ini lini masa dunia maya dipenuhi dengan berita Camping 100 Tenda yang dilakukan di tepi danau Laut Tawar yang merupakan ikon keindahan Dataran Tinggi Gayo. Kegiatan ini melanjutkan kegiatan dengan tema yang sama yang telah dilakukan tahun lalu.

Kali ini, tidak bisa tidak saya harus mengangkat dua jempol dan tepuk tangan sambil berdiri untuk Komunitas Gayo Diatas Awan yang merupakan penggagas acara ini. Pujian yang sama harus disampaikan kepada Pemkab Aceh Tengah melalui dinas Pariwisata yang telah memberikan dukungan total untuk penyelenggaraan acara ini. Pegiat wisata yang aktif di sosial media juga turut mendukung kegiatan camping 100 tenda seperti Wisata Aceh, Aceh Adventure, cbAceh,dan masih banyak lainnya.
Photo by mata.h..arie 

Ada beberapa alasan yang membuat penyelenggaraan acara ini harus dipuji. Pertama Pelaksanaan Camping bareng ini mengambil lokasi di Pantai Ghadink Bebuli, Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah ini sangat bagus untuk Branding pariwisata Gayo.

Kenapa ini bagus?, sebab sebagai daerah tujuan wisata, Gayo yang tidak memiliki fasilitas wisata artifisial modern atau pub-pub dan pusat keramaian untuk hura-hura ditambah dengan budaya Gayo yang kental dengan nilai-nilai Islam, sangat tidak cocok untuk dikembangkan menjadi tujuan wisata Mass Tourism seperti di Kuta Bali atau Pattaya di Thailand.

Gayo yang memiliki kelebihan pada keindahan alam, budaya dan juga tentu saja kopi. Kelebihan-kelebihan ini harus diarahkan kepada wisata muda dengan segmen Youth Traveller yang suka bertualang dan punya rasa ingin tahu yang besar. Kalau memang serius ingin menjadikan Pariwisata sebagai salah satu sumber ekonomi andalan. Segmen inilah yang terutama sekali harus digarap oleh Pemkab Aceh Tengah sebagai target utama. Setelah itu baru memburu target –target lain.

Camping 100 tenda yang menurut Ketua Panitia, Ridwansyah atau sering disapa Birah Panyang, diikuti oleh para pelancong dari seluruh nusantara bahkan Malaysia ini membawa pesan sangat jelas utuk penguatan image ini.

A photo posted by 100 tenda (@100tenda) on
Alasan kedua, penyelenggaraan acara yang diikuti peserta laki-laki dan perempuan yang didukung penuh oleh Pemkab Aceh Tengah, WH dan pemuda kampung Bebuli ini memberi pesan kuat kepada dunia bahwa meskipun berada di dalam wilayah provinsi Aceh, tapi Gayo berbeda.

Umum kita ketahui bahwa selama ini Aceh banyak disorot dunia karena penerapan syari’at Islam yang kaku yang kadang jauh dari prinsip keadilan, mulai dari larangan pendirian bioskop, larangan merayakan tahun baru dan sejenisnya karena kekhawatiran bahwa kegiatan itu akan menjadi sarang maksiat. Semua itu membawa pesan kepada dunia bahwa Aceh adalah wilayah yang kaku dan tidak nyaman untuk didatangi baik untuk berwisata ataupun menanamkan modal untuk berusaha.


A photo posted by 100 tenda (@100tenda) on
Tapi Camping 100 Tenda ini menunjukkan kalau Syariat Islam yang sama dipraktekkan di Gayo tidak sekaku di wilayah Aceh lainnya. Gayo lebih melihat ke esensi, bukan mengedepankan sikap curiga. Camping 100 tenda telah membuktikan, bahwa camping tidak selalu identik dengan mesum, mabuk-mabukan, hura-hura dan segala jenis maksiat lainnya. Camping juga bisa menjadi ajang kekeluargaan, pertukaran budaya dan saling memahami.

Kegiatan yang juga menyuguhkan bermacam mata seperti ramah tamah, sholat magrib berjamaah, makan malam menu khas Gayo, live music, Stand Up Comedi, ngopi dan api unggun ini menyebarkan image Islam yang sejuk dari ketinggian bukit barisan.

Di tengah ketegangan dan pandangan buruk dunia terhadap Islam yang selalu dikaitkan dengan teror dan umat yang marah-marah. Apa yang ditampilkan di dataran tinggi Gayo ini bagaikan embun penyejuk yang turun di tengah panasnya gurun. Gayo menawarkan konsep Islam yang ramah, bukan Islam yang marah-marah.

Bukan kebetulan John Bowen aman Genali, penulis buku “Sumatran Politics and Poetics ; Gayo History 1900 – 1989” yang kini sudah menjelma menjadi salah satu superstar di dunia antropologi yang sering diminta menjadi pembicara dalam seminar-seminar tentang benturan peradaban antara Islam dan Barat.

A photo posted by aprinaws (@aprinaws) on
Ketika para koleganya dari barat selalu melihat Islam yang marah-marah sebagai representasi dunia Islam.Bowen yang menganggap dirinya sebagai bagian dari masyarakat Gayo selalu menjadikan selalu menjadikan praktek Islam di Gayo sebagai rujukan praktek Islam yang ramah. Pandangan ini bisa kita baca pada berbagai jurnal, artikel-artikel dan buku yang dia tulis.

Jadi jelas kegiatan Camping 100 tenda ini akan membuat image yang sangat bagus tentang Gayo. Bukan tidak mungkin nanti ke depan, kegiatan ini bisa berkembang menjadi ajang inter kultural Timur dan Barat.

Karena itulah untuk kegiatan tahun depan, mungkin persiapan sudah bisa dimulai dari sekarang terutama untuk menggarap promosi dengan target lebih banyak partisipan manca negara yang berpartisipasi. Promosi bisa dilakukan di pusat-pusat kunjungan turis manca negara seperti Bali, Malaysia dan Thailand.

Ketiga, Camping 100 tenda ini menjadi bukti bahwa Pemkab Aceh Tengah bisa menyerap ide-ide tentang pariwisata yang datang dari masyarakat sendiri. Pemkab tidak hanya memaksakan konsepnya sendiri yang kadang sama sekali tidak bersentuhan dengan kepentingan masyarakat. Sehingga ini bisa menjadi preseden untuk anak-anak muda Gayo lainnya untuk menampilkan kreativitasnya untuk kemajuan Gayo, tanpa ragu untuk menawarkan konsepnya kepada Pemkab.

A photo posted by Wisata Aceh (@wisataaceh) on
Karena alasan-alasan di atas itulah, pantas kiranya kita berharap supaya ke depannya kalau gaung kegiatan ini sudah lebih besar.

Misalnya, nantinya kegiatan ini boleh dikombinasikan dengan menambahkan variasi festival kuliner Gayo, lengkap dengan penganan khas Gayo. Disamping bisa dicoba mengundang sponsor. Panitia bisa menjalin kerjasama dengan kampung-kampung di sekitar sebagai penyedia kulinernya. Supaya dampak ekonomi dari pariwisata benar-benar menyasar masyarakat luas. Bukan hanya dinikmati segelintir pemodal berduit. sumber: lintasgayo.co